Guru PAI,
Kebutuhan atau kualitas.
Antara
Kebutuhan Atau Kualitas ?
Pendidik
atau biasa disebut dengan guru, adalah komponen penting dalam proses tranfer
ilmu dari yang tidak tahu menjadi tahu, seberapapun kecanggihan teknologi yang
menawarkan berbagai kemudahan dalam beredukasi, namun tanpa hadirnya seorang
guru atau pembimbing maka ilmu yang dipelajari bisa saja salah kaprah, sebagai
contoh saja saya, beberapa lalu saya pergi ke perpustakaan pusat di UMM, lalu
saya menemukan buku yang sangat menarik dengan judul “Tanya Jawab Seputar
Islam” karya Prof. Dasteghib, buku ini
telah di Indonesiakan sebelum di terbitkan, saya membaca di dalam perpustakaan
tidak terasa sudah 20 halaman, lalu saya meminjamnya dan saya bawa pulang.
setelah saya baca sampai pada BAB Tanya jawab
seputar kepemimpinan, saya mulai merasa banyak yang janggal dengan ungkapan
Prof. Dasteghib, lalu saya coba search di google dengan kata kunci Prof.
Dasteghib dan betapa terkejutnya saya bahwa banyak artikel yang mengatakan
beliau adalah ulama syiah yang pemikiranya cenderung sesat, seketika itu baru
saya memilah dan memilih dalam membaca buku Tanya Jawab Seputar Islam ini,
sebelumnya saya terlalu terpesona dengan redaksi kata yang digunakan dan gelar
Profesornya, lalu saya berfikir buku ini berada di Rak Umum di perpustakaan,
jika saja ada orang yang sangat awam membaca ini maka tersesatlah mereka dengan
sangat dalam.
Nah dari cerita saya ini bisa kita
ambil kesimpulanya betapa berbahayanya jika kita mencari ilmu namun tidak
memiliki pijakan yang kuat, bisa bisa malah tersesat. Menurut Suyanto (2006: 1)
“Guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari
gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis
alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh
kebanggaan komunitas dan bangsanya” lalu pernyataan yang menyambung setelah ini
adalah “guru yang demikian bukan guru yang sembarang guru, ia pasti memiliki
profesinalisme yang tinggi, sehingga bisa digugu dan ditiru”
Dalam rubrik Pendidikan koran Kompas
edisi 27 desember 2014 ada sebuah artikel yang menggambarkan keresahan yang
dialami oleh banyak elemen pendidikan dengan dirasa sulitnya merekrut guru yang
kompeten di bidangnya karena kebanyakan guru yang memiliki tingkat
kapabilitas tinggi enggan menjadi guru
saja, mereka cenderung memilih mengejar profesi dosen atau di tempat-tempat
yang menyediakan bayaran tinggi, misalkan
di SMK Perikanan dan Kelautan Jember, mereka sangat kekurangan guru
ahli, menurut kepala sekolah ketersediaan guru yang kompeten merupakan masalah
serius dalam menjalankan sekolah, jika tidak memiliki guru yang standar maka
tidak akan mendapat akreditasi ungkapnya.
Jika kita kembali pada ketersediaan
guru Pendidikan Agama Islam di Indonesia maka jumlahnya sangat banyak, sangat
menjamurnya STIT Tarbiyah, STAIN dan perguruan tinggi yang membuka program
studi Agama Islam, namun yang menjadi kendala adalah apakah lulusan yang
dikeluarkan memiliki kualitas atau tidak, disisi lain ketika kita membahas
kurang adanya guru yang kompeten, namun di berbagai wilayah di Indonesia
meneriakan kurangnya tenaga pengajar Pendidikan Agama Islam di daerahnya.
Misalkan di daerah Sleman
Jogjakarta, seperti diberitakan koran Republika bahwasanya di Sleman kebutuhan
guru PAI menurut data kemenag adalah 1290 orang, namun realita yang ada hanya
790 orang guru PAI. Tentu saja hal semacam ini sangat akan mengganggu
kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah, salah satu faktor yang melatar
belakangi hal ini adalah moratorium yang dilakukan oleh pemerintah, padahal
jika ditilik setiap tahunya banyak guru PAI yang pensiun sehingga jumlahnya
kian berkurang sedangkan kebutuhan akan guru PAI justru terus bertambah.
Agaknya apa yang dijanjikan
pemerintah tentang kualitas pendidikan ketika diawal masa kampanye bukan malah
memperbaiki sistem namun malah membuat sistem menjadi kacau, lalu apabila semua
lulusan sekolah tarbiyah diangkat menjadi guru dengan alasan “Kekurangan” bukan
dengan “Kualifikasi” maka yang akan menjadi korban adalah anak didik kita,
masih bernasib baik jika mereka memperoleh guru yang kompeten, namun jika
mereka mendapatkan seorang guru yang tidak memiliki kapasitas sebagai guru, mau
diarahkan kemana kegiatan belajar mengajar dikelas.
Masalah inilah yang semestinya perlu
mendapat perhatian yang lebih oleh pemerintah dan semua kalangan, perduli pada
generasi selanjutnya berarti perduli akan masa depan bangsa. Mengabaikan
dekadensi dan kemunduran berarti telah mempersiapkan diri menuju masa depan
bangsa yang hancur pula.
Komentar
Posting Komentar